DIALEKSIS.COM | Opini - Di banyak kesempatan, kita sering sekali mendengar kata “dakwah” seakan-akan cuma soal ceramah, khutbah, atau tabligh akbar di atas panggung. Seolah tugas mulia itu hanya sah dilakukan oleh mereka yang berpakaian gamis, bersorban, dan bersuara lantang dari balik mikrofon. Padahal, kalau kita mau jujur, sejak kapan agama dibatasi ruang geraknya hanya di atas mimbar? Sejak kapan dakwah hanya boleh dilakukan di forum formal yang penuh dengan kata “hadirin sekalian yang saya muliakan”?
DIALEKSIS.COM | Opini - Di Banda Aceh, politik itu mirip kenduri. Siapa yang punya kuasa, dialah yang bagi-bagi piring. Yang nggak punya kuasa? Cukup tepuk tangan di pinggir halaman, atau kalau nasib baik, kebagian tulang ikan di akhir acara. Bedanya, kalau kenduri biasa habis makan bisa pulang, kalau politik Aceh, rakyatnya terus-terusan disuruh nonton orang yang itu-itu juga duduk di kursi empuk. Bahkan kadang, kendurinya bisa jalan terus bertahun-tahun, kursinya diwariskan dari kakek, ke anak, ke cucu, ke menantu. Rakyat? Ya tetap aja jadi penonton.